.
Latest News

RINGKASAN DAN ANALISA JUDUL ARTIKEL : PENGANTAR MEMBEBASKAN HUKUM

7 Mar 2009 , Posted by Unknown at 20:52

Hukum sebagai institusi pemberi jaminan atas keadilan sudah lenyap sama sekali dalam kesadaran manusia Indonesia Indonesia saat ini. Sebagian sarjana atau ahli hukum menunjuk kepada masalah ‘mafia’ peradilan yang terlanjur berkembang di masa orde baru sebagai biang keroknya sehingga mengusulkan untuk mengganti dan memensiunkan hakim-hakim yang berkedudukan di Jakarta dan yang ada di Mahkamah agung.

Sebagian ahli hukum lainnya berpendapat bahwa penyebabnya lebih bersifat struktural yaitu adanya kooptasi politik dari pemegang kekuasaan negara saat itu terhadap hukum. Hukum harus ditegakkan kembali supremasinya, hukum harus kembali ke posisinya yang netral dan otonom.
Paradigma positivisme yang selama ini digunakan dalam membaca hukum barangkali sudah kehilangan relevansinya dalam menjawab masalah –masalah hukum saat ini, akibatnya kita memberikan jawaban dan solusi yang keliru.
Paradigma positivisme memandang hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah dirundingkan di antara warga masyrakat, sebagai sistem aturan yang bersifat otonom dan netral. Aliran positivisme masuk ke Indonesia karena dampak kolonialisme Belanda, dan peranan kaum academic jurists Belanda yang mengawali tonggak pengajaran dan kajian hukum.
Paradigma positivisme yang dikembangkan kaum academic jurists ternyata tidak pernah mengalami apa yang disebut Kuhn sebagai anomaly, ia seakan akan terus relevan digunakan untuk memandang atau membaca realitas hukum meskipun terdapat pemberontakan-pemberontan kecil dari ahli hukum yang gigih memperkenalkan paradigma. Paradigma positivisme tetap diajarkan di bangku-bangku fakultas hukum di Indonesia sebagai satu-satunya pendekatan yang paling absah dalam dalam mempelajari hukum.
Menurut Thomas Kuhn, paradigma bisa diartikan semacam pandangan dunia bagi suatu komunitas kailmuan, yang merupakan peralatan untuk mempelajari realitas. Paradigma memiliki kedudukan palings sentral dalam ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn paradigma tidak bersifat kekal, perubahannya seringkali bersifat revolusioner. Paradigma berubah ketika terjadi anomaly, yaitu keadaan dimana paradigma tersebut tidak mampu lagi menerangkan realitas yang diamatinya.
Aliran pemikiran hukum yang menjadi oposan dari paradigma dominan di atas tergabung ke dalam gerakan studi hukum kritis (Critical Legal Studies Movement). Diawali oleh tulisan Soetandyo Wignyosoebroto, mengetengahkan pembahasan paradigma-paradigma dalam mempelajari hukum. Dengan ulasan yang padat dan jernih mengenai paradigma positivisme, Soetandyo selanjutnya membahas ketidakpuasan yang muncul terhadap paradigma positivisme sehingga berkembang paradigma baru sebagai antitetik dalam mempelajari hukum yaitu paradigma pascapositivisme. Soetandyo memberi tekanan kepada kemunculan paradigma hermeneutic, yang bukan hanya ingin membebaskan kajian hukum dari kaum positivisma, tetapi juga dari kajian hukum strukturalis atau behavioralis yang terlalu empiris sifatnya. Paradigma hermeneutic membuka jalan bagi para sarjana hukum mendapatkan perspektif para pengguna atau pencari keadilan berkenaan dengan makna-makna hukum yang mereka pahami.
Tulisan Ifdhal Kasim menggugat dengan sangat tajam paradigma positivisme yang menurut mereka hanya memberi justifikasi bagi posisi elite kaum yuris positivis. Gerakan Studi Hukum Kritis menurut Hunt, belum mapu sepenuhnya dapat membebaskan diri dan sikap reaktif mereka, yang karena itu belum sampai perumusan final mengenai teori alternatif dalam kajian hukum. Untuk mengatasi hal tersebut Hunt menawarkan Teori Hukum Relasional sebagai jalan keluarnya.
John W. Montgomery mengajukan pendekatan hermeneutika yang membuka cara pandang kita tentang problem interpretasi yangs angat kompleks, tidak hanya menyangkut pemahaman terhadap original intent dari suatu kontrak atau undang-undang, tetapi juga menyangkut sang penafsir sendiri. Kerumitan ini terlukis dalam analogy sepatu dan kaki yang digunakan Wittgenstein Popper. Interpretasi diibaratkan sepatu dan teks diibaratkan kaki. Teks tidak dapat seenaknya dipelintir berdasarkan kemauan sang penafsir.
Anom Surya saputra mencoba melihat praktik pengembangan Ilmu Hukum di Indonesia yang menurutnya terjebak dalam perangkap logosentrisme hukum. Ilmu hukum di Indonesia yang Kelsenian, menurutnya tidak mempunyai tradisi berteori, selain hanya kutipan-kutipan yan tidak jelas kaitan-kaitannya. Anom menawarkan reinterpretasi terhadap pemikiran hukum, rancang bangun logika, dan metode Ilmu Hukum serta ancangan analisis atas praktik-praktik lembaga-lembaga hukum.
Tulisan- tulisan para aktifis hukum menunjukan betapa paradigma positivisme yang diyakini oleh kaum yuris kita selama ini ikut menghancurkan pemahaman hukum yang bekembang di dalam masyarakat, khususnya pada masyarakat adat. Elitisme kaum yuris positivisme telah membutakan mata mereka terhadap hukum yang berada di luar dari apa yang selama ini mereka pahami.

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Post a Comment

trima kasih sudah berkunjung dan memberi komentarnya, jangan lupa follow...

Followers

Copyright 2009 - ncek minah meradang .. All Rights Reserved.
FalknerPress Template by Blogger Templates. Original Design by CamelGraph Modified by Abu Farhan